WISATASEMARANG.ID – Bukit Cinta Ambarawa ada banyak tempat wisata menarik di provinsi Jawa Tengah yang bisa dikunjungi wisatawan mancanegara maupun Jawa Tengah. Beberapa tempat wisata di Jawa Tengah tidak membutuhkan banyak biaya, ada juga tempat yang harganya sangat terjangkau bagi yang berwisata dengan budget terbatas. Bukit Cinta Ambarawa adalah salah satu tempat untuk bersantai atau bersantai di akhir pekan.
Berkendara ke Bukit Cinta Ambarawa
Bukit Cinta Ambarawa terletak di Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Ambarawa, Provinsi Jawa Tengah. Bukit Cinta Ambarawa terletak di dekat rawa bernama Rawa Pening. Bukit ini ditutupi dengan pohon pinus yang indah.
Lokasi Bukit Cinta Ambarawa ada di Jalan Raya Salatiga-Ambarawa, tak jauh dari Jalan Lingkar Ambarawa. Wisatawan dari Semarang dapat mengakses bukit ini melalui jalan tol Ungaran-Bawen yang panjangnya kurang lebih 47,9 km.
Waktu tempuh yang dibutuhkan dari Semarang ke Ambarawa kurang lebih 1 jam dari Kota Semarang atau 15 km dari Kabupaten Semarang. Bukit Cinta Ambarawa buka setiap hari mulai pukul 08.00. sampai jam 6:00 sore. Wisatawan yang ingin mengunjungi Bukit Cinta Ambarawa hanya perlu membayar Rp 6.000 pada hari kerja, dari Senin hingga Sabtu. Pada hari libur nasional atau hari Minggu, pengunjung hanya perlu membayar Rp 7.500.
Dengan harga yang cukup terjangkau ini, wisatawan sudah bisa menikmati pemandangan di sana dan menggunakan jasa seperti taman bermain anak. Ada juga gardu pandang dimana Anda bisa melihat pemandangan Rawa Pening dan Bukit Brawijaya.
Fasilitas lain yang ada di bukit ini antara lain tempat ibadah, toilet, restoran, aula yang luas dan tempat parkir. Pengunjung juga bisa merasakan keindahan rawa dengan menyewa perahu di sana. Setiap pengunjung yang ingin menyewa perahu membayar Rp 15.000.
Legenda Rawa Pening di Bukit Cinta Ambarawa
Bukit Cinta Ambarawa merupakan tempat yang strategis untuk mengamati pertumbuhan eceng gondok pada masa penjajahan Belanda. Eceng gondok Rawa Pening tumbuh sangat cepat dan menutupi permukaan rawa. Di pintu masuk Bukit Cinta Ambarawa berdiri patung naga besar dengan mulut terbuka. Ada juga patung wanita tua yang sedang menggerakkan lesung dan relief yang menggambarkan legenda Rawa Pening. Sebelum naik Bukit Cinta Ambarawa juga terdapat patung naga di sekitar bukit. Patung naga dan wanita tersebut merupakan bentukan dari simbol legenda Rawa Pening.
Menurut legenda, itu adalah sebuah desa bernama Ngasem. Di desa ini, seorang wanita bernama Endang Sawitri melahirkan seorang anak berbentuk naga dan menamainya Baru Klinting. Perahu dapat menampung setidaknya 6 penumpang. Kapal menyusuri Rawa Pening selama kurang lebih 30 menit.
Ibu naga, Baru Klinting, mengatakan ayah naga adalah pertapa bernama Ki Hajar Salokantara yang bertapa di Gunung Telomoyo. Untuk mendapatkan pengakuan ayahnya, Baru Klinting mencari sang pertapa dengan tanda jam peninggalan sang pertapa. Ki Hajar Salokantara mengusulkan satu syarat agar Baru Klinting percaya bahwa naga itu adalah anaknya, yaitu harus mengitari Gunung Telomoyo. Baru Klinting kemudian menyetujui permintaan pertapa itu.
Ketika Ki Hajar Salokantara mengakui hal tersebut, Baru Klinting diminta bertapa di hutan di lereng gunung. Beberapa waktu lalu, penduduk desa di sekitar lereng, desa Pathok, suatu hari mengadakan festival petani. Penduduk desa kemudian berburu hewan untuk disajikan di pesta itu. Alih-alih mendapatkan permainan, mereka menemukan pohon besar dan tinggi di seberang jalan.
Penduduk memotongnya dan menemukan bahwa setelah berdarah, pohon itu adalah daging naga. Mereka memotongnya dan kemudian membawanya ke pesta. Naga Baru-Klinting kemudian berubah menjadi anak kecil yang jelek. Dia datang ke pesta yang diselenggarakan oleh Desa Pathok. Namun, penduduk desa mengusirnya dengan jijik.
Merasa sakit hati setelah ditendang, Baru Klinting meninggalkan desa itu dan bertemu dengan seorang wanita tua yang baik hati. Wanita itu mengundang Baru Klinting ke rumahnya, menghormatinya sebagai tamu, dan menawarinya makanan. Sambil pergi, Baru Klinting memberi pesan kepada wanita itu bahwa sebentar lagi akan ada suara gemuruh dan banjir besar. Untuk bertahan hidup, dia harus naik ke lesung.
Baru Klinting kembali ke pesta desa dan mencoba menguji warga dengan meminta makanan lagi. Penduduk desa, muak dengan penampilannya, tidak mau menerimanya. Dia juga diperlakukan dengan kejam, ditendang dan ditendang keluar. Sebelum berangkat, Baru Klinting menancapkan sebatang tongkat ke tanah dan menantangnya untuk mencabut tongkat tersebut. Jika salah satu dari mereka berhasil, mereka keluar.
Ternyata tantangannya sangat sederhana, setiap warga berusaha mencabut tongkat yang tertancap tersebut namun tidak berhasil. Baru Klinting diminta mencabut tongkat itu. Dia berhasil menarik tongkat yang dia pegang hanya dengan dua jari. Saat tongkat dicabut dari tanah, terdengar suara gemuruh, diikuti air. Air melebar dan menggenang, dengan cepat menghanyutkan desa dan isinya.
Satu-satunya warga yang selamat dari banjir adalah seorang perempuan tua yang baik hati kepada Baru Klinting. Air yang tergenang menjadi rawa air jernih. Saat itu rawa tersebut bernama Rawa Pening.